Breaking News
Join This Site
Pengertian Hukum Adat Menurut Beberapa sarjana hukum

Pengertian Hukum Adat Menurut Beberapa sarjana hukum



1. Pengertian Hukum Adat Menurut Beberapa sarjana hukum:
1. Supomo & Hazairin:
Mengambil kesimpulan bahwa hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat. (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu) yaitu dalam keputusan lurah, penghulu, pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.
2. Bushar Muhammad:
Menjelaskan bahwa untuk memberikan definisi hukum ada sulit sekali karena, hukum adat masih dalam pertumbuhan; sifat dan pembawaan hukum adat ialah:
- Tertulis atau tidak tertulis
- Pasti atau tidak pasti
- Hukum raja atau hukum rakyat dan sebagainya.
3. Van Vollenhoven:
Menjelaskan bahwa hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebut “hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu disebut “adat”).
4. Soekanto:
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum.
5. Soerjono Soekanto:
Hukum non statuter yang untuk bagian terbesar merupakan hukum kebiasaan sedangkan untuk bagian terkecil terdiri dari hukum agama. Selain itu juga mencakup hukum yang didasarkan pada putusan-putusan hakim yang berisikan asas-asas hukum dalam lingkungan dimana suatu perkara diputuskan.
 6.Terhar berpendapat bahwa hukum adat dalam dies tahun 1930 dengan judul “Peradilan          landraad berdasarkan hukum tidak tertulis yaitu:
- Hukum adat lahir dari & dipelihara oleh keputusan-keputusan, seperti:
- Keputusan berwibawa dari kepala rakyat (para warga masyarakat hukum)
- Para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat (melainkan senafas / seirama).
- Dalam orasi tahun 1937 “Hukum Hindia belanda di dalam ilmu, praktek & pengajaran menjelaskan bahwa hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum yang berwibawa serta berpengaruh dan yang dalam pelaksanaannya dipatuhi dengan sepenuh hati. (Para fungsionaris hukum: hakim, kepala adat, rapat desa, wali tanah, petugas dilapangan agama, petugas desa lainnya) à ajaran keputusan (Bestissingenteer)
7.Koentjaningrat mengatakan batas antara hukum adat & adat adalah mencari adany empat ciri hukum / attributes of law yaitu:
1.Attribute of authority
Adanya keputusan-keputusan melalui mekanisme yang diberi kuasa dan berpengaruh dalam masyarakat.
2.Attribute of Intention of universal application
Keputusan-keputusan dari pihaj yang berkuasa itu harus di maksudkan sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang & harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa pada masa akan datang.
3. Attribute of obligation (ciri kewajiban)
Keputusan-keputusan dari pemegang kuasa itu harus mengandung rumusan mengenai hak & kewajiban.
4.Attribute of sanction (ciri penguat)
Keputusan-keputusan dari pemegang kuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti luas. Bisa berupa sanksi jasmaniah; sanksi rohaniah (rasa malu, rasa dibenci)
Pola pikir dari Koentjaningrat dipengaruhi oleh L. POSPISIT seorang sarjana antroplogi dari amerika serikat.
8.Prof. Djojodigoeno mengungkapkan bahwa hukum adat  itu
merupakan karya dari masyarakat  tertentu yang bertujuan untuk
mendapatkan  keadilan  dalam  tingkah  laku  manusia.

9.Van  den Berg dan Salmon Keyzer yang menyatakan bahwa  “hukum adat
itu merupakan penerimaan dari hukum agama  yang dianut oleh
masyarakat
10. Hardjito Notopuro: Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata kedilan dan kesejahteran masyarakat dan bersifat kekeluargaan22.
11.Suroyo Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber apada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkat laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).23
12. Sudjito Sastrodiharjo menegaskan: Ilmu hukum bukan hanya mempelajari apa yang disebut das sollen, tetapi pertama kali harus mengingat das sein. Hukum adat merupakan species dari hukum tidak tertulis,

2. PEMBAGIAN LINGKUNGAN HUKUM ADAT MENURUT  VAN VOLLEN HOVEN
Van Vollen Hoven membagi lingkungan hukum  adat menjadi 19 lingkungan hukum adat (Rechtskringen). Satu daerah dimana garis-garis besar, corak dan sifatnya hukum adat adalah seragam oleh Van Vollen Hoven disebut “rechtskring”.  Tiap-tiap lingkaran hukum tersebut dibagi lagi kepada beberapa bagian yang disebut dengan “Kuburan Hukum” atau “Rechtsgouw”. Kesembilan belas lingkaran hukum adat itu ialah :
1.        Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeulue).
2.        Tanah Gayo, Alas, dan Batak.
1.    Tanah Gayo (Gayo Leus).
2.    Tanah Alas.
3.    Tanah Batak (Tapanuli).
a.    Tapanuli Utara:
1.    Batak Pakpak (Barus).
2.    Batak Karo.
3.    Batak Simelungun.
4.    Batak Toba (Simsir, Balige, Laguboti, Lumban, Julu).
b.    Tapanuli Selatan:
1.    Padang Lawas (Tano Sepanjang).
2.    Angkola.
3.    Mandailing (Sayurmatinggi).
3.         Nias (Nias Selatan).
4.         Tanah  Minagkabau ( Padang, Agam, Tanah Datar,  Lima puluh Kota, Tanah Kampar, Kerinci). Mentawai (Orang Pagai).
5.         Sumatera Selatan.
a.    B engkulu (Rejang).
b.    Lampung ( Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulang Bawang).
c.    Palembang (Anak Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo).
d.   Jambi (Batin dan Penghulu).
e.    Enggano.
6.        Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri. Sumatera Timur, Orang Banjar).
7.        Bangka dan Belitung.
8.        Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan).
9.         Gorontalo (Bolaang Mangondow, Boalemo).
10.     Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree. Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai).
11.     Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makassar, Selayar, Muna).
12.     Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula).
13.     Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Bandar, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar).
14.     Irian.
15.     Kep. Timor (Kepulauan Timor - Timor, Timor Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Riti, Sayu Bima).
16.    Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa).
17.    Jawa Pusat, Jawa Timur, serta Madura ( Jawa Pusat, Kedu, Puworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura).
18.    Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta).
19.    Jawa Barat (Pariangan, Sunda, Jakarta, Banten).

3.1.Sejarah Singkat  Hukum Adat pada Zaman Hindu
Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakekatnya sudah terdapat pada zaman kuno, zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra- Hindu tersebut menurut ahli-ahli hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu Polinesia.
Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang masingmasing mempengaruhi kultur asli tersebut yang sejak lama menguasai tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat. Sehingga Hukum Adat yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil akulturasi antara peraturanperaturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan hidupyang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen.
Setelah terjadi akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau“Inladsrecht” menurut Van Vaollenhoven terdiri dari :
“Inlandsrecht”
(Hukum Adat atau Hukum Pribumi)
Yang tidak ditulis
(jus non scriptum) Yang ditulis (jus scriptum) Hukum Asli Penduduk Ketentuan Hukum Agama
Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia Belanda akan memberlakukan hukum eropa atau huku yang berlaku di Belanda menjadi hukum positif di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi.
Mengenai hukum adat timbulah masalah bagi pemerintah colonial, sampai dimana hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-kepentingan ekonominya, dan sampai dimana hukum adat itu dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda. Kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia tidak masuk perhitungan pemerintah colonial.
Apabila diikuti secara kronologis usaha-usaha baik pemerintah Belanda di negerinya sendiri maupun pemerintah colonial yang ada di Indonesia ini, maka secara ringkasnys undang-undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun kedudukan hukum adat seterusnya didalam system perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai berikut :
1.    Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk menyelidiki apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum kodifikasi Barat. Rencana kodifikasi Wichers gagal/
2. Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda, mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk kepentingan agraris pengusaha Belanda. Usaha inipun gagal.
3. Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki diadakan kodifikasi local untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah26 daerah yang penduduknya telah memeluk agama Kristen. Usaha ini belum terlaksana.
4. Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undangundang untuk menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa. Pemerintah Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk asli tunduk pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima suatu amandemen yakni amandemen Van Idsinga.
5.    Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia. Ditentang oleh Van Vollenhoven dan usaha ini gagal.
6.    Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha ini gagal karena kritikan Van Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr Rutgers memberitahu bahwa meneruskan pelaksanaan kitab undangundang kesatuan itu tidak mungkin.
Dan dalam tahun 1927 Pemerintahn Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahu 1927 itu olitik Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari “unifikasi” beralih ke “kodifikasi”.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat
Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum adat, disamping kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi alam, juga faktor-faktor yang bersifat tradisional adalah sebagai berikut :

1. Magis dan Animisme :
Alam pikiran magis dan animisme pada dasarnya dialami oleh setiap bangsa di dunia. Di Indonesia faktor magis dan animisme cukup besar pengaruhnya. Hal ini dapat dilihat dalam upacara-upacara adat yang bersumber pada kekuasaan-kekuasaan serta kekuatan-kekuatan gaib.
1. Kepercayaan kepada mahkluk-mahkluk halus, roh-roh, dan hantuhantu yang menempati seluruh alam semesta dan juga gejala-gejala alam, semua benda yang ada di alam bernyawa.
2. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti dan adanya roh-roh yang baik dan yang jahat.
3. Adanya orang-orang tertentu yang dapat berhubungan dengan dunia gaib dab atau sakti.
4.  Takut adanya hukuman/ pembalasan oleh kekuatan-kekuatan gaib. Hal ini dapat dilihat adanya kebiasaan mengadakan siaran-siaran, sesajen di tempat-tempat yang dianggap keramat.
Animisme yaitu percaya bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini bernyawa.
Animisme ada dua macam yaitu :
1. Fetisisme :
Yaitu memuja jiwa-jiwa yang ada pada alam semesta, yang mempunyai kemampuan jauh lebih besar dari pada kemampuan manusia, seperti halilintar, taufan, matahari, samudra, tanah, pohon besar, gua dan lain-lain.
2. Spiritisme :
Yaitu memuja roh-roh leluhur dan roh-roh lainnya yang baik dan yang jahat.
2. Faktor Agama
Masuknya agama-agama di Indonesia cukup banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan hukum adat misalnya :
Agama Hindu :
Pada abad ke 8 masuknya orang India ke Indonesia dengan membawa agamanya, pengaruhnya dapat dilihat di Bali. Hukum-hukum Hindu berpengaruh pada bidang pemerintahan Raja dan pembagian kasta-kasta.
Agama Islam :
Pada abad ke 14 dan awal abad 15 oleh pedagang-pedagang dari Malaka, Iran. Pengarush Agama Islam terlihat dalam hukum perkawinan yaitu dalam cara melangsungkan dan memutuskan perkawinan dan juga dalam bidang wakaf. Pengaruh hukum perkawinan Islam didalam hukum adat di beberapa daerah di Indonesia tidak sama kuatnya misalnya daerah Jawa dan Madura, Aceh pengaruh Agama Islam sangat kuat, namun beberapa daerah tertentu walaupun sudah diadakan menurut hukum perkawinan Islam, tetapi tetap dilakukan upacara-upacara perkawinan menurut hukum adat, missal di Lampung, Tapanuli.
Agama Kristen :
Agama Kristen dibawa oleh pedagang-pedagang Barat. Aturan-aturan hukum Kristen di Indonesia cukup memberikan pengaruh pada hukum keluarga, hukum perkawinan.
Agama Kristen juga telah memberikan pengaruh besar dalam bidang social khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan, dengan didirikannya beberapa lembaga Pendidikan dan rumah-rumah sakit.
3. Faktor Kekuasaan yang lebih tinggi
Kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi yang dimaksud adalah kekuasaankekuasaan Raja-raja, kepala Kuria, Nagari dan lain-lain. Tidak semua Raja-raja yang pernah bertahta di negeri ini baik, ada juga Raja yang bertindak sewenang-wenang bahkan tidak jarang terjadi keluarga dan lingkungan kerajaan ikut serta dalam menentukan kebijaksanaan kerajaan misalnya penggantian kepala-kepala adat banyak diganti oleh orang-orang yang dengan kerajaan tanpa menghiraukan adat istiadat bahkan menginjak-injak hukum adat yang ada dan berlaku didalam masyarakat tersebut.
4. Adanya Kekuasaan Asing
Yaitu kekuasaan penjajahan Belanda, dimana orang-orang Belanda dengan alam pikiran baratnya yang individualisme. Hal ini jelas bertentangan dengan alam pikiran adat yang bersifat kebersamaan.

3.2.Sejarah Hukum Adat Zaman Islam
Syariat Islam merupakan salah satu kerangka dasar hukum Islam. Berdasarkan sejarah, hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang lahir lebih dahulu dari hukum Islam di Indonesia. Pada jaman penjajahan Belanda, hukum Islam menjadi adatrecht politik yang dilakukan oleh pemerintah Belanda di Indonesia untuk menempatkan hukum Islam dibawah hukum adat, salah satunya adalah ajaran yang dibawa oleh Snouck Hurgronje mengenai teori resepsi. Dalam teori tersebut, hukum Islam telah diterima secara teori, tapi sering dilanggar secara praktek sebab dalam masyarakat, hukum Islam tidak berlaku, yang berlaku adalah hukum adat karena dalam hukum adat masuk unsur-unsur hukum Islam, sedangkan pada masyarakat adat sendiri hukum Islam yang berlaku bukan lagi hukum Islam sebab sudah menjadi hukum adat. Asumsi dasarnya adalah hukum adat merupakan sistem hukum yang hidup dan diaplikasikan dalam masyarakat, sementara hukum Islam hanya sistem yang bersifat teoritis, walaupun sebagian besar masyarakat beragama. Kemudian Rasjidi menanggapi bahwa Snouck Hurgronje telah keliru, sebab dalam hukum apapun, hukum yang telah diterima oleh teori apabila terdapat faktor-faktor tertentu, maka mungkin untuk terjadinya pelanggaran di dalam prakteknya.
Hukum adat yang tumbuh dalam masyarakat, menurut Hazairin, terbentuk oleh keseluruhan norma kesusilaan yang sanksinya dapat dipaksakan. Norma awal yang tumbuh adalah norma kesusilaan perorangan berupa Jaiz atau kebolehan yang dalam setiap kebolehan tidak terdapat sanksi. Setelah terjadi penilaian oleh masyarakat, jaiz berubah menjadi sunnah apabila dinilai baik sehingga dianjurkan untuk dilakukan, tetapi menjadi makruh apabila dinilai buruk sehinggar dianjurkan untuk tidak dilakukan. Setelah ditambahkan sanksi yang memaksa, maka sunnah berubah kedudukan menjadi wajib yaitu keharusan untuk dilakukan, sedangkan makruh berubah kedudukan menjadi haram yaitu larangan yang tidak boleh dilakukan. Pada tahap inilah kemudian norma kesusilaan telah menjadi norma hukum.
Dalam hubungannya, para ahli etnologi, antropologi, dan hukum adat menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kedudukan keagamaan4.
4Zuhri Muhammad, Hukum Islam dalam lintasan sejarah, cet. Kesatu (Jakarta: Praja Grafindo persada, 1996) hal.143
Hal itu disebabkan bahwa hukum Islam mempengaruhi hukum adat. Hukum adat didasari atas prinsip magis religius yang merupakan pengaruh langsung dari agama, contohnya mengenai aliran animisme dan dinamisme yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Menurut A Johns, ia meyakini bahwa doktrin Islam telah memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan kerajaan. Hal ini benar khususnya di Aceh dan Malaka selama masa-masa awal Islam Asia Tenggara5. Ilmuan lain yang mengikuti pandangan tersebut berpendapat walau kekuatan adat lokal telah termanifestasikan dalam masyarakat Indonesia, namun hukum Islam juga efektif pada level komunal dan berhasil memodifikasikan beberapa praktek hukum, terutama dalam bidang-bidang dalam keluarga dan nilai nilai sosial. Inilah yang menjadi dasar syariat Islam sebagai manivestasi dari hukum Islam mampu diberlakukan dalam pranata sosial masyarakat Aceh dalam hakikatnya merupakan propinsi di Indonesia yang juga tunduk pada hukum nasional Indonesia



3.3.Sejarah Hukum Adat dan Peradilan Zaman Kompeni
Kompeni (VOC) adalah pada hakikatnya suatu perseroan dagang. Oleh karena itu, mudah dimengerti bahwa kompeni hanyalah mengutamakan kepentingan sebagai badan perniagaan. Dengan demikian maka bangunan hukum adat yang hingga saat itu sudah ada didaerah-daerah yang jauh dibiarkan saja sehingga hukum rakyat tetap berlaku.
Baru apabila kepentingan kompeni terganggu, maka kompeni akan menggunakan kekuasaannya.. hal ini berakibat bahwa sikap kompeni terhadap hukum adat adalah tergantung pada keperluan saat itu (politik opportunieteit).
Semula kompeni membiarkan hukum adat berlaku seperti sediakala tetapi pengurus kompeni di negeri Belanda (Heren XVII) menetapkan dengan perintah tertanggal 4 maret 1621 yang mengharuskan hukum sipil belanda diperlakukan di dalam daerah yang dikuasai oleh kompeni.
Pemerintah pengurus kompeno tersebut diatas baru pada tahun 1625 oleh Gubernur Jenderal De Carpentier akan dipenuhi akan tetapi dengan syrat jika sekiranya dapat dilakukan di negeri ini dan jika menurut keadaan di negeri ini dapat dilakukan.
Dengan diadakan syarat-syarat tersebut diatas tersimpul kemungkinan untuk tidak memperlakukan hukum Belanda jika kedaan memaksa.


3.4.Masyarakat Hukum Adat di Indonesia Setelah Kemerdekaan
Bom atom yang melululantakkan Hiroshima dan Nagasaki pada bulan Agustus 1945 menandai kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Para pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia memanfaatkan kesempatan ini untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebuah Undang-Undang Dasar, yakni Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), disahkan tepat sehari kemudian. Pasal dalam UUD 1945 yang mengatur kebebasan beragama akan dibahas lebih lanjut dalam bagian tersendiri di bawah ini.
Seiring berlalunya waktu, beberapa peristiwa telah memengaruhi perjalanan THHK, sehingga pada tahun 1955 berdirilah Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI). Organisasi ini mirip dengan THHK,
memiliki maksud dan tujuan yang lebih kurang sama, dan memang memiliki hubungan kesejarahan dengan THHK. Pada tahun 1961, Kongres VI PKCHI memutuskan dan memproklamasikan “ajaran Nabi Khonghucu
(Konfusianisme) adalah AGAMA” dan bahwa Khonghucu adalah Nabi agama tersebut.
Pada tahun 1965, Presiden Soekarno, presiden pertama Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan, mengeluarkan Penetapan Presiden No. 1/Pn.Ps/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Penetapan Presiden ini mengatur, antara lain, bahwa ada enam agama yang dipeluk penduduk Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Inilah
titik awal pemicu debat dan wacana yang tiada habis-habisnya dalam tahun-tahun berikutnya mengenai agama yang diakui negara dan agama yang tidak diakui negara.
Pada tahun 1967, terjadi suksesi kepresidenan dari Soekarno ke Jenderal Soeharto. Selama 31 tahun kemudian, Jenderal Soeharto menjadi Presiden Indonesia. Karena alasan-alasan tertentu, yang sesungguhnya masih sangat dapat diperdebatkan, Soeharto dan rezimnya menjalankan kebijakan anti-Tionghoa. Begitu menjabat Presiden, ia segera menerbitkan Instruksi Presiden No. 14/1967. Pengaturan- pengaturan dalam Instruksi Presiden ini praktis membelenggu kebebasan mempraktekkan budaya Tionghoa, menjalankan tradisi dan kepercayaan tradisional Tionghoa, serta merayakan hari-hari besar adat Tionghoa; pendek kata, segala sesuatu yang berbau Tionghoa. Ini tentu saja berdampak buruk terhadap Konfusianisme di Indonesia, karena Konfusianisme jelas adalah salah satu kepercayaan Tionghoa.

Akan tetapi, Presiden Soeharto sempat berkenan memberikan sambutan tertulis dalam pembukaan Kongres VI PKCHI, yang kala itu telah berganti nama menjadi Gabungan Perhimpunan Agama Khonghucu se-
Indonesia (GAPAKSI), yang berlangsung pada tanggal 23-26 Agustus 1967. Pada kesempatan tersebut, sang Presiden antara lain menyatakan, ”Agama Khonghucu mendapat tempat yang layak dalam negara
kita yang berdasarkan Pancasila ini.” Perhatikan bahwa Soeharto menggunakan kata agama untuk menyebut Konfusianisme dalam sambutan tersebut.
Pada tahun 1969, terbit Undang-Undang (UU) No. 5/1969. Dalam hal agama-agama yang diakui negara, UU ini mengatur persis sama dengan Penetapan Presiden tahun 1965 yang telah disebutkan di atas, yakni
bahwa ada enam agama di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Pada tahun 1974, terbit UU tentang Perkawinan. Pasal 2 UU dengan nomor 1/1974 ini menyatakan, "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu." Tetapi kemudian muncul Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 pada tanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa ada lima agama di Indonesia, yaitu Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha. Patut digarisbawahi di sini bahwa pada saat SE ini diterbitkan, UU No. 5/1969 dan Penetapan Presiden No. 1/Pn.Ps/1965 belum dicabut; dan memang belum dicabut sampai sekarang.
Sidang Kabinet tanggal 27 Januari 1979 dengan tegas memutuskan, “Khonghucu BUKAN agama.” Sebuah Surat lain dari Menteri Dalam Negeri dengan nomor 77/2535/POUD terbit pada tanggal 25 Juli 1990. Sekali lagi, Surat ini menegaskan bahwa ada lima agama di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha. Pada tanggal 28 November 1995, keluar Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur No. 683/95 yang menyatakan bahwa (hanya) ada lima agama yang diakui di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha.
1. Pengertian Hukum Adat Menurut Beberapa sarjana hukum:
1. Supomo & Hazairin:
Mengambil kesimpulan bahwa hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat. (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu) yaitu dalam keputusan lurah, penghulu, pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.
2. Bushar Muhammad:
Menjelaskan bahwa untuk memberikan definisi hukum ada sulit sekali karena, hukum adat masih dalam pertumbuhan; sifat dan pembawaan hukum adat ialah:
- Tertulis atau tidak tertulis
- Pasti atau tidak pasti
- Hukum raja atau hukum rakyat dan sebagainya.
3. Van Vollenhoven:
Menjelaskan bahwa hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebut “hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu disebut “adat”).
4. Soekanto:
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum.

5. Soerjono Soekanto:
Hukum non statuter yang untuk bagian terbesar merupakan hukum kebiasaan sedangkan untuk bagian terkecil terdiri dari hukum agama. Selain itu juga mencakup hukum yang didasarkan pada putusan-putusan hakim yang berisikan asas-asas hukum dalam lingkungan dimana suatu perkara diputuskan.
 6.Terhar berpendapat bahwa hukum adat dalam dies tahun 1930 dengan judul “Peradilan          landraad berdasarkan hukum tidak tertulis yaitu:
- Hukum adat lahir dari & dipelihara oleh keputusan-keputusan, seperti:
- Keputusan berwibawa dari kepala rakyat (para warga masyarakat hukum)
- Para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat (melainkan senafas / seirama).
- Dalam orasi tahun 1937 “Hukum Hindia belanda di dalam ilmu, praktek & pengajaran menjelaskan bahwa hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum yang berwibawa serta berpengaruh dan yang dalam pelaksanaannya dipatuhi dengan sepenuh hati. (Para fungsionaris hukum: hakim, kepala adat, rapat desa, wali tanah, petugas dilapangan agama, petugas desa lainnya) à ajaran keputusan (Bestissingenteer)
7.Koentjaningrat mengatakan batas antara hukum adat & adat adalah mencari adany empat ciri hukum / attributes of law yaitu:
1.Attribute of authority
Adanya keputusan-keputusan melalui mekanisme yang diberi kuasa dan berpengaruh dalam masyarakat.
2.Attribute of Intention of universal application
Keputusan-keputusan dari pihaj yang berkuasa itu harus di maksudkan sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang & harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa pada masa akan datang.

3. Attribute of obligation (ciri kewajiban)
Keputusan-keputusan dari pemegang kuasa itu harus mengandung rumusan mengenai hak & kewajiban.
4.Attribute of sanction (ciri penguat)
Keputusan-keputusan dari pemegang kuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti luas. Bisa berupa sanksi jasmaniah; sanksi rohaniah (rasa malu, rasa dibenci)
Pola pikir dari Koentjaningrat dipengaruhi oleh L. POSPISIT seorang sarjana antroplogi dari amerika serikat.
8.Prof. Djojodigoeno mengungkapkan bahwa hukum adat  itu
merupakan karya dari masyarakat  tertentu yang bertujuan untuk
mendapatkan  keadilan  dalam  tingkah  laku  manusia.


9.Van  den Berg dan Salmon Keyzer yang menyatakan bahwa  “hukum adat
itu merupakan penerimaan dari hukum agama  yang dianut oleh
masyarakat

10. Hardjito Notopuro: Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata kedilan dan kesejahteran masyarakat dan bersifat kekeluargaan22.
11.Suroyo Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber apada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkat laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).23
12. Sudjito Sastrodiharjo menegaskan: Ilmu hukum bukan hanya mempelajari apa yang disebut das sollen, tetapi pertama kali harus mengingat das sein. Hukum adat merupakan species dari hukum tidak tertulis,

2. PEMBAGIAN LINGKUNGAN HUKUM ADAT MENURUT  VAN VOLLEN HOVEN
Van Vollen Hoven membagi lingkungan hukum  adat menjadi 19 lingkungan hukum adat (Rechtskringen). Satu daerah dimana garis-garis besar, corak dan sifatnya hukum adat adalah seragam oleh Van Vollen Hoven disebut “rechtskring”.  Tiap-tiap lingkaran hukum tersebut dibagi lagi kepada beberapa bagian yang disebut dengan “Kuburan Hukum” atau “Rechtsgouw”. Kesembilan belas lingkaran hukum adat itu ialah :
1.        Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeulue).
2.        Tanah Gayo, Alas, dan Batak.
1.    Tanah Gayo (Gayo Leus).
2.    Tanah Alas.
3.    Tanah Batak (Tapanuli).
a.    Tapanuli Utara:
1.    Batak Pakpak (Barus).
2.    Batak Karo.
3.    Batak Simelungun.
4.    Batak Toba (Simsir, Balige, Laguboti, Lumban, Julu).
b.    Tapanuli Selatan:
1.    Padang Lawas (Tano Sepanjang).
2.    Angkola.
3.    Mandailing (Sayurmatinggi).
3.         Nias (Nias Selatan).
4.         Tanah  Minagkabau ( Padang, Agam, Tanah Datar,  Lima puluh Kota, Tanah Kampar, Kerinci). Mentawai (Orang Pagai).
5.         Sumatera Selatan.
a.    B engkulu (Rejang).
b.    Lampung ( Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulang Bawang).
c.    Palembang (Anak Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo).
d.   Jambi (Batin dan Penghulu).
e.    Enggano.
6.        Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri. Sumatera Timur, Orang Banjar).
7.        Bangka dan Belitung.
8.        Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan).
9.         Gorontalo (Bolaang Mangondow, Boalemo).
10.     Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree. Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai).
11.     Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makassar, Selayar, Muna).
12.     Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula).
13.     Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Bandar, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar).
14.     Irian.
15.     Kep. Timor (Kepulauan Timor - Timor, Timor Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Riti, Sayu Bima).
16.    Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa).
17.    Jawa Pusat, Jawa Timur, serta Madura ( Jawa Pusat, Kedu, Puworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura).
18.    Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta).
19.    Jawa Barat (Pariangan, Sunda, Jakarta, Banten).

3.1.Sejarah Singkat  Hukum Adat pada Zaman Hindu
Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakekatnya sudah terdapat pada zaman kuno, zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra- Hindu tersebut menurut ahli-ahli hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu Polinesia.
Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang masingmasing mempengaruhi kultur asli tersebut yang sejak lama menguasai tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat. Sehingga Hukum Adat yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil akulturasi antara peraturanperaturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan hidupyang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen.
Setelah terjadi akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau“Inladsrecht” menurut Van Vaollenhoven terdiri dari :
“Inlandsrecht”
(Hukum Adat atau Hukum Pribumi)
Yang tidak ditulis
(jus non scriptum) Yang ditulis (jus scriptum) Hukum Asli Penduduk Ketentuan Hukum Agama
Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia Belanda akan memberlakukan hukum eropa atau huku yang berlaku di Belanda menjadi hukum positif di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi.
Mengenai hukum adat timbulah masalah bagi pemerintah colonial, sampai dimana hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-kepentingan ekonominya, dan sampai dimana hukum adat itu dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda. Kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia tidak masuk perhitungan pemerintah colonial.
Apabila diikuti secara kronologis usaha-usaha baik pemerintah Belanda di negerinya sendiri maupun pemerintah colonial yang ada di Indonesia ini, maka secara ringkasnys undang-undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun kedudukan hukum adat seterusnya didalam system perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai berikut :
1.    Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk menyelidiki apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum kodifikasi Barat. Rencana kodifikasi Wichers gagal/
2. Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda, mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk kepentingan agraris pengusaha Belanda. Usaha inipun gagal.
3. Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki diadakan kodifikasi local untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah26 daerah yang penduduknya telah memeluk agama Kristen. Usaha ini belum terlaksana.
4. Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undangundang untuk menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa. Pemerintah Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk asli tunduk pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima suatu amandemen yakni amandemen Van Idsinga.
5.    Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia. Ditentang oleh Van Vollenhoven dan usaha ini gagal.
6.    Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha ini gagal karena kritikan Van Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr Rutgers memberitahu bahwa meneruskan pelaksanaan kitab undangundang kesatuan itu tidak mungkin.
Dan dalam tahun 1927 Pemerintahn Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahu 1927 itu olitik Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari “unifikasi” beralih ke “kodifikasi”.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat
Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum adat, disamping kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi alam, juga faktor-faktor yang bersifat tradisional adalah sebagai berikut :

1. Magis dan Animisme :
Alam pikiran magis dan animisme pada dasarnya dialami oleh setiap bangsa di dunia. Di Indonesia faktor magis dan animisme cukup besar pengaruhnya. Hal ini dapat dilihat dalam upacara-upacara adat yang bersumber pada kekuasaan-kekuasaan serta kekuatan-kekuatan gaib.
1. Kepercayaan kepada mahkluk-mahkluk halus, roh-roh, dan hantuhantu yang menempati seluruh alam semesta dan juga gejala-gejala alam, semua benda yang ada di alam bernyawa.
2. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti dan adanya roh-roh yang baik dan yang jahat.
3. Adanya orang-orang tertentu yang dapat berhubungan dengan dunia gaib dab atau sakti.
4.  Takut adanya hukuman/ pembalasan oleh kekuatan-kekuatan gaib. Hal ini dapat dilihat adanya kebiasaan mengadakan siaran-siaran, sesajen di tempat-tempat yang dianggap keramat.
Animisme yaitu percaya bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini bernyawa.
Animisme ada dua macam yaitu :
1. Fetisisme :
Yaitu memuja jiwa-jiwa yang ada pada alam semesta, yang mempunyai kemampuan jauh lebih besar dari pada kemampuan manusia, seperti halilintar, taufan, matahari, samudra, tanah, pohon besar, gua dan lain-lain.
2. Spiritisme :
Yaitu memuja roh-roh leluhur dan roh-roh lainnya yang baik dan yang jahat.
2. Faktor Agama
Masuknya agama-agama di Indonesia cukup banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan hukum adat misalnya :
Agama Hindu :
Pada abad ke 8 masuknya orang India ke Indonesia dengan membawa agamanya, pengaruhnya dapat dilihat di Bali. Hukum-hukum Hindu berpengaruh pada bidang pemerintahan Raja dan pembagian kasta-kasta.
Agama Islam :
Pada abad ke 14 dan awal abad 15 oleh pedagang-pedagang dari Malaka, Iran. Pengarush Agama Islam terlihat dalam hukum perkawinan yaitu dalam cara melangsungkan dan memutuskan perkawinan dan juga dalam bidang wakaf. Pengaruh hukum perkawinan Islam didalam hukum adat di beberapa daerah di Indonesia tidak sama kuatnya misalnya daerah Jawa dan Madura, Aceh pengaruh Agama Islam sangat kuat, namun beberapa daerah tertentu walaupun sudah diadakan menurut hukum perkawinan Islam, tetapi tetap dilakukan upacara-upacara perkawinan menurut hukum adat, missal di Lampung, Tapanuli.
Agama Kristen :
Agama Kristen dibawa oleh pedagang-pedagang Barat. Aturan-aturan hukum Kristen di Indonesia cukup memberikan pengaruh pada hukum keluarga, hukum perkawinan.
Agama Kristen juga telah memberikan pengaruh besar dalam bidang social khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan, dengan didirikannya beberapa lembaga Pendidikan dan rumah-rumah sakit.
3. Faktor Kekuasaan yang lebih tinggi
Kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi yang dimaksud adalah kekuasaankekuasaan Raja-raja, kepala Kuria, Nagari dan lain-lain. Tidak semua Raja-raja yang pernah bertahta di negeri ini baik, ada juga Raja yang bertindak sewenang-wenang bahkan tidak jarang terjadi keluarga dan lingkungan kerajaan ikut serta dalam menentukan kebijaksanaan kerajaan misalnya penggantian kepala-kepala adat banyak diganti oleh orang-orang yang dengan kerajaan tanpa menghiraukan adat istiadat bahkan menginjak-injak hukum adat yang ada dan berlaku didalam masyarakat tersebut.
4. Adanya Kekuasaan Asing
Yaitu kekuasaan penjajahan Belanda, dimana orang-orang Belanda dengan alam pikiran baratnya yang individualisme. Hal ini jelas bertentangan dengan alam pikiran adat yang bersifat kebersamaan.






3.2.Sejarah Hukum Adat Zaman Islam
Syariat Islam merupakan salah satu kerangka dasar hukum Islam. Berdasarkan sejarah, hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang lahir lebih dahulu dari hukum Islam di Indonesia. Pada jaman penjajahan Belanda, hukum Islam menjadi adatrecht politik yang dilakukan oleh pemerintah Belanda di Indonesia untuk menempatkan hukum Islam dibawah hukum adat, salah satunya adalah ajaran yang dibawa oleh Snouck Hurgronje mengenai teori resepsi. Dalam teori tersebut, hukum Islam telah diterima secara teori, tapi sering dilanggar secara praktek sebab dalam masyarakat, hukum Islam tidak berlaku, yang berlaku adalah hukum adat karena dalam hukum adat masuk unsur-unsur hukum Islam, sedangkan pada masyarakat adat sendiri hukum Islam yang berlaku bukan lagi hukum Islam sebab sudah menjadi hukum adat. Asumsi dasarnya adalah hukum adat merupakan sistem hukum yang hidup dan diaplikasikan dalam masyarakat, sementara hukum Islam hanya sistem yang bersifat teoritis, walaupun sebagian besar masyarakat beragama. Kemudian Rasjidi menanggapi bahwa Snouck Hurgronje telah keliru, sebab dalam hukum apapun, hukum yang telah diterima oleh teori apabila terdapat faktor-faktor tertentu, maka mungkin untuk terjadinya pelanggaran di dalam prakteknya.
Hukum adat yang tumbuh dalam masyarakat, menurut Hazairin, terbentuk oleh keseluruhan norma kesusilaan yang sanksinya dapat dipaksakan. Norma awal yang tumbuh adalah norma kesusilaan perorangan berupa Jaiz atau kebolehan yang dalam setiap kebolehan tidak terdapat sanksi. Setelah terjadi penilaian oleh masyarakat, jaiz berubah menjadi sunnah apabila dinilai baik sehingga dianjurkan untuk dilakukan, tetapi menjadi makruh apabila dinilai buruk sehinggar dianjurkan untuk tidak dilakukan. Setelah ditambahkan sanksi yang memaksa, maka sunnah berubah kedudukan menjadi wajib yaitu keharusan untuk dilakukan, sedangkan makruh berubah kedudukan menjadi haram yaitu larangan yang tidak boleh dilakukan. Pada tahap inilah kemudian norma kesusilaan telah menjadi norma hukum.

Dalam hubungannya, para ahli etnologi, antropologi, dan hukum adat menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kedudukan keagamaan4.
4Zuhri Muhammad, Hukum Islam dalam lintasan sejarah, cet. Kesatu (Jakarta: Praja Grafindo persada, 1996) hal.143
Hal itu disebabkan bahwa hukum Islam mempengaruhi hukum adat. Hukum adat didasari atas prinsip magis religius yang merupakan pengaruh langsung dari agama, contohnya mengenai aliran animisme dan dinamisme yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Menurut A Johns, ia meyakini bahwa doktrin Islam telah memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan kerajaan. Hal ini benar khususnya di Aceh dan Malaka selama masa-masa awal Islam Asia Tenggara5. Ilmuan lain yang mengikuti pandangan tersebut berpendapat walau kekuatan adat lokal telah termanifestasikan dalam masyarakat Indonesia, namun hukum Islam juga efektif pada level komunal dan berhasil memodifikasikan beberapa praktek hukum, terutama dalam bidang-bidang dalam keluarga dan nilai nilai sosial. Inilah yang menjadi dasar syariat Islam sebagai manivestasi dari hukum Islam mampu diberlakukan dalam pranata sosial masyarakat Aceh dalam hakikatnya merupakan propinsi di Indonesia yang juga tunduk pada hukum nasional Indonesia



3.3.Sejarah Hukum Adat dan Peradilan Zaman Kompeni
Kompeni (VOC) adalah pada hakikatnya suatu perseroan dagang. Oleh karena itu, mudah dimengerti bahwa kompeni hanyalah mengutamakan kepentingan sebagai badan perniagaan. Dengan demikian maka bangunan hukum adat yang hingga saat itu sudah ada didaerah-daerah yang jauh dibiarkan saja sehingga hukum rakyat tetap berlaku.
Baru apabila kepentingan kompeni terganggu, maka kompeni akan menggunakan kekuasaannya.. hal ini berakibat bahwa sikap kompeni terhadap hukum adat adalah tergantung pada keperluan saat itu (politik opportunieteit).
Semula kompeni membiarkan hukum adat berlaku seperti sediakala tetapi pengurus kompeni di negeri Belanda (Heren XVII) menetapkan dengan perintah tertanggal 4 maret 1621 yang mengharuskan hukum sipil belanda diperlakukan di dalam daerah yang dikuasai oleh kompeni.
Pemerintah pengurus kompeno tersebut diatas baru pada tahun 1625 oleh Gubernur Jenderal De Carpentier akan dipenuhi akan tetapi dengan syrat jika sekiranya dapat dilakukan di negeri ini dan jika menurut keadaan di negeri ini dapat dilakukan.
Dengan diadakan syarat-syarat tersebut diatas tersimpul kemungkinan untuk tidak memperlakukan hukum Belanda jika kedaan memaksa.

3.4.Masyarakat Hukum Adat di Indonesia Setelah Kemerdekaan
Bom atom yang melululantakkan Hiroshima dan Nagasaki pada bulan Agustus 1945 menandai kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Para pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia memanfaatkan kesempatan ini untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebuah Undang-Undang Dasar, yakni Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), disahkan tepat sehari kemudian. Pasal dalam UUD 1945 yang mengatur kebebasan beragama akan dibahas lebih lanjut dalam bagian tersendiri di bawah ini.
Seiring berlalunya waktu, beberapa peristiwa telah memengaruhi perjalanan THHK, sehingga pada tahun 1955 berdirilah Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI). Organisasi ini mirip dengan THHK,
memiliki maksud dan tujuan yang lebih kurang sama, dan memang memiliki hubungan kesejarahan dengan THHK. Pada tahun 1961, Kongres VI PKCHI memutuskan dan memproklamasikan “ajaran Nabi Khonghucu
(Konfusianisme) adalah AGAMA” dan bahwa Khonghucu adalah Nabi agama tersebut.
Pada tahun 1965, Presiden Soekarno, presiden pertama Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan, mengeluarkan Penetapan Presiden No. 1/Pn.Ps/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Penetapan Presiden ini mengatur, antara lain, bahwa ada enam agama yang dipeluk penduduk Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Inilah
titik awal pemicu debat dan wacana yang tiada habis-habisnya dalam tahun-tahun berikutnya mengenai agama yang diakui negara dan agama yang tidak diakui negara.
Pada tahun 1967, terjadi suksesi kepresidenan dari Soekarno ke Jenderal Soeharto. Selama 31 tahun kemudian, Jenderal Soeharto menjadi Presiden Indonesia. Karena alasan-alasan tertentu, yang sesungguhnya masih sangat dapat diperdebatkan, Soeharto dan rezimnya menjalankan kebijakan anti-Tionghoa. Begitu menjabat Presiden, ia segera menerbitkan Instruksi Presiden No. 14/1967. Pengaturan- pengaturan dalam Instruksi Presiden ini praktis membelenggu kebebasan mempraktekkan budaya Tionghoa, menjalankan tradisi dan kepercayaan tradisional Tionghoa, serta merayakan hari-hari besar adat Tionghoa; pendek kata, segala sesuatu yang berbau Tionghoa. Ini tentu saja berdampak buruk terhadap Konfusianisme di Indonesia, karena Konfusianisme jelas adalah salah satu kepercayaan Tionghoa.

Akan tetapi, Presiden Soeharto sempat berkenan memberikan sambutan tertulis dalam pembukaan Kongres VI PKCHI, yang kala itu telah berganti nama menjadi Gabungan Perhimpunan Agama Khonghucu se-
Indonesia (GAPAKSI), yang berlangsung pada tanggal 23-26 Agustus 1967. Pada kesempatan tersebut, sang Presiden antara lain menyatakan, ”Agama Khonghucu mendapat tempat yang layak dalam negara
kita yang berdasarkan Pancasila ini.” Perhatikan bahwa Soeharto menggunakan kata agama untuk menyebut Konfusianisme dalam sambutan tersebut.
Pada tahun 1969, terbit Undang-Undang (UU) No. 5/1969. Dalam hal agama-agama yang diakui negara, UU ini mengatur persis sama dengan Penetapan Presiden tahun 1965 yang telah disebutkan di atas, yakni
bahwa ada enam agama di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Pada tahun 1974, terbit UU tentang Perkawinan. Pasal 2 UU dengan nomor 1/1974 ini menyatakan, "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu." Tetapi kemudian muncul Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 pada tanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa ada lima agama di Indonesia, yaitu Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha. Patut digarisbawahi di sini bahwa pada saat SE ini diterbitkan, UU No. 5/1969 dan Penetapan Presiden No. 1/Pn.Ps/1965 belum dicabut; dan memang belum dicabut sampai sekarang.
Sidang Kabinet tanggal 27 Januari 1979 dengan tegas memutuskan, “Khonghucu BUKAN agama.” Sebuah Surat lain dari Menteri Dalam Negeri dengan nomor 77/2535/POUD terbit pada tanggal 25 Juli 1990. Sekali lagi, Surat ini menegaskan bahwa ada lima agama di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha. Pada tanggal 28 November 1995, keluar Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur No. 683/95 yang menyatakan bahwa (hanya) ada lima agama yang diakui di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha.