Breaking News
Join This Site
Kerajaan Samudra pasai

Kerajaan Samudra pasai


Kerajaan samudra pasai.

Abu Abdullah Muhammad bin Battutah atau Ibnu Batutah adalah seorang pengembara dari Berber, Afrika Utara. Lahir di Tangier, Maroko antara tahun 1304 dan 1307, pada usia sekitar dua puluh tahun Ibnu Batutah berangkat haji - ziarah ke Mekah. Setelah selesai, dia melanjutkan perjalanannya hingga melintasi 120.000 kilometer sepanjang dunia Muslim (sekitar 44 negara modern). Atas dorongan Sultan Maroko, Ibnu Batutah mendiktekan beberapa perjalanan pentingnya kepada seorang sarjana bernama Ibnu Juzay, yang ditemuinya ketika sedang berada di Semenanjung Iberia. Meskipun mengandung beberapa kisah fiksi, 'Rihlah' merupakan catatan perjalanan dunia terlengkap yang berasal dari abad ke-14. Sebelum Dinasti Usmaniyah (Ottoman) di Turki berdiri pada 699-1341 H atau bertepatan dengan tahun 1385-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur tepatnya di wilayah Aceh saat ini telah muncul sebuah kerajaan Islam bernama Samudera Pasai. Keberadaan Kesultanan Samudera Pasai ini diungkapkan Ibnu Batuthah (1304-1368 M), dalam kitabnya yang berjudul “Rihlah ila I-Masyriq” (Pengembaraan ke Timur).

    “Sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah...”

Gambaran Ibnu Batutah secara fisual
Begitulah Ibnu Batuthah menggambarkan kekagumannya terhadap keindahan dan kemajuan Kerajaan Samudera Pasai yang sempat disinggahinya selama 15 hari pada 1345 M.
Sementara itu, dalam catatan perjalanan Ibnu Batuthah lainnya yang berjudul “Tuhfat al-Nazha”, ia menuturkan, pada masa itu Samudera Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di kawasan Asia Tenggara. Jauh sebelum Sang Pengembara Muslim itu menginjakkan kakinya di kerajaan Muslim pertama di nusantara itu, seorang penjelajah asal Venezia (Italia), yang bernama Marco Polo, telah mengunjungi Samudera Pasai pada 1292 M.
Marco Polo bertandang ke Samudera Pasai saat menjadi pemimpin rombongan yang membawa ratu dari Cina ke Persia. Bersama dua ribu orang pengikutnya, Marco Polo singgah dan menetap selama lima bulan di bumi Serambi Makkah itu. Dalam kisah perjalanan berjudul “Travel of Marco Polo”, pelancong dari Eropa itu juga mengagumi kemajuan yang dicapai Kesultanan Samudera Pasai. Kesultanan Samudera Pasai terletak di pesisir pantai utara Sumatera kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara, sekarang ini. Kesultanan ini didirikan oleh Meurah Silu pada sekitar tahun 1267 M. Ia adalah keturunan dari Suku Imam Empat atau Sukee Imuem Peuet sebutan untuk keturunan empat maharaja (meurah) bersaudara yang berasal dari Mon Khmer (Champa), yang merupakan pendiri pertama kerajaan-kerajaan di Aceh pra-Islam. Keempat maharaja tersebut adalah Syahir Po-He-La yang mendirikan Kerajaan Peureulak (Perlak) di Aceh Timur, Syahir Tanwi yang mendirikan Kerajaan Jeumpa (Champa) di Peusangan (Bireuen), Syahir Poli (Pau-Ling) yang mendirikan Kerajaan Sama Indra di Pidie, dan Syahir Nuwi yang mendirikan Kerajaan Indra Purba di Banda Aceh dan Aceh Besar.

 Malik As Saleh
Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai, disebutkan asal muasal penamaan Kerajaan Samudera Pasai. Syahdan, suatu hari, Meurah Silu melihat seekor semut raksasa yang berukuran sebesar kucing. Meurah yang kala itu belum memeluk Islam menangkap dan memakan semut itu. Dia lalu menamakan tempat itu Samandra. Tak semua orang percaya kisah yang berbau legenda itu. Sebagian orang meyakini kata Samudera berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti laut. Sedangkan, kata Pasai diyakini berasal dari Parsi: Parsee atau Pase. Pada masa itu, banyak pedagang dan saudagar Muslim dari Persia-India alias Gujarat yang singgah di wilayah Nusantara.
Meurah Silu kemudian memutuskan masuk Islam dan berganti nama menjadi Malik Al-Saleh atau dikenal dengan sebutan Malik As-Saleh. Menurut legenda masyarakat Aceh, suatu hari Meurah Silu bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Setelah itu, ia pun memutuskan masuk Islam. Malik Al-Saleh mulai menduduki takhta Kesultanan Samudera Pasai pada 1267 M. Di bawah kepemimpinan Malik Al-Saleh, Samudera Pasai mulai berkembang. Ia berkuasa selama 29 tahun dan digantikan oleh Sultan Muhammad
Malik Al-Zahir (1297-1326 M).

Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Hikayat Melayu, disebutkan bahwa kemunculan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam diperkirakan dari awal atau pertengahan abad ke-13 M. Ini sebagai hasil dari proses Islamisasi dari daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7 M. Dugaan atas berdirinya Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M ini didukung oleh data-data hasil penelitian terhadap beberapa sumber yang dilakukan, terutama oleh sarjana-sarjana Barat. Khususnya, para sarjana Belanda sebelum perang, seperti Christian Snouck Hurgronje, JP Moquette, JL Moens, J Hushoff Poll, GP Rouffaer, dan HKJ Cowan. Kedua hikayat tersebut dan para sarjana Barat juga menyebutkan bahwa pendiri Kerajaan Samudera Pasai adalah Sultan Malik As-Saleh.

Akan tetapi, dua buah naskah lokal yang ditemukan di Aceh, yakni “Idah Al-Haqq fi Mamlakat Peureula” karya Abu Ishaq Makarani dan “Tawarikh Raja-Raja Pasai”, mengungkapkan bahwa Kerajaan Samudera Pasai sudah berdiri pada 433 H/1042 M. Kerajaan yang dikuasai oleh Dinasti Meurah Khair ini terus berlangsung sampai tahun 607 H/1210 M. Pada tahun ini, Baginda Raja meninggal dunia dan tidak meninggalkan putra. Setelah itu, negeri Samudera Pasai menjadi rebutan antara pembesar-pembesar istana. Keadaan politik yang tidak stabil itu berlangsung kurang lebih 50 tahun. Keadaan baru berubah menjadi lebih baik setelah naiknya Meurah Silu, yang kemudian bergelar Malik As-Saleh.

Hal ini berbeda dengan Hikayat Raja-Raja Pasai yang mengatakan bahwa Meurah Silu pada mulanya beragama Hindu. Ia kemudian masuk Islam melalui Syekh Ismail, seorang utusan Syarif Makkah dan mendapat gelar Sultan Malik As-Saleh. Sumber ini menyebutkan Meurah Silu berasal dari keturunan Raja Islam Perlak. Pendukung analisis ini berpendapat bahwa kerajaan Islam pertama di Nusantara bukanlah Samudera Pasai, melainkan Kerajaan Perlak. Dalam catatan perjalanan Ibnu Batuthah, disebutkan bahwa Kerajaan Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama Islam. Kerajaan itu juga digunakan sebagai tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi tentang masalah-masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus.

Kerajaan Samudera Pasai, menurut Ibnu Batuthah, tetap berlangsung hingga tahun 1524. Pada tahun 1521, kerajaan tersebut ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun. Setelah itu, pada tahun 1524 dan seterusnya, Kerajaan Samudera Pasai berada di bawah pengaruh Kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.
Secara singkat , pengaruh agama mempersatukan kedua kerajaan ini yaitu kerajaan samudera pasai dengan kesultanan aceh dalam menghadapi bangsa portugis yang di anggap merugikan dan membawa dampak baru dalam agama baru, yang mana para pembesar islam menyerukan jihad agar melawan penjajah kala itu.